Kisah Lucu Penangkapan Teroris Aceh

KOMPAS.com — Jumat (12/3/2010) pukul 09.30. Telepon Kepala Polsek Leupung Ajun Inspektur Dua Khairil Anwar berdering. Sebuah informasi penting, yang membuat Kepala Polsek Leupung itu segera bersiaga. Dikabarkan, ada 10 lelaki mencurigakan, diduga teroris yang diburu, sedang meluncur dari arah kota Banda Aceh ke Meulaboh menggunakan mobil jenis Mitsubishi L 300.

Dengan sedikit waswas, Khairil Anwar menyiapkan pasukannya di depan markas polsek di pinggir Jalan Raya Banda Aceh-Meulaboh Kilometer 24, Kabupaten Aceh Besar. Dia pantas waswas karena personelnya hanya delapan orang dengan dua senapan laras panjang jenis SS dan tiga pistol. Sementara itu, kelompok yang diburu itu dikabarkan sangat berbahaya karena dalam kontak senjata di Desa Bayu, Kemukiman Lamkabeu, Kecamatan Seulimuem, mereka menewaskan seorang anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror dan dua anggota Brimob, serta melukai 11 anggota Brimob.

Menunggu hampir setengah jam, tak satu pun kendaraan lewat. Hingga sekitar pukul 10.00, sebuah mobil L 300 yang meluncur dari arah Banda Aceh segera dihentikan. ”Ketika saya buka pintu tengah, tercium bau tak sedap. Saya juga melihat ada dua karung,” kisah Briptu T Roli, anggota Polsek Leupung.

Saat ditanya, beberapa lelaki di dalam mobil bernomor BK 1116 GU itu mengatakan, karung itu berisi gergaji mesin. ”Saat saya pegang, saya yakin itu isinya senjata. Saya langsung teriak: ada senjata!” kata Roli.

Bersamaan dengan teriakan itu, dua orang yang duduk di jok depan menghambur ke luar mobil dan lari. Satu di antaranya melepaskan tembakan. Hanya sekali tembakan, pistol macet.

Polisi membalasnya. Kedua lelaki yang lari itu pun tersungkur tewas, sekitar 50 meter dari posisi mobil L 300. Delapan orang lainnya memilih menyerah dan akhirnya ditangkap dalam keadaan hidup.

Dua orang yang ditembak mati itu ternyata ”tokoh penting”. Enceng Kurnia merupakan anggota Ring Banten yang ditangkap pada Juli 2005 karena membantu Dulmatin dan Umar Patek ke Filipina tahun 2003. Satu lagi Pura Sudarma alias Jaja, buronan sejak 2001. Salah satu anak buahnya, Heri Gulun, adalah pelaku bom bunuh diri di Kedutaan Australia tahun 2004. Jaja diindikasi anggota NII.

Mengenal medan

Drama di depan Polsek Leupung itu mengakhiri pelarian 10 dari 50-an anggota kelompok bersenjata yang menamakan diri Tandzim Al Qoidah Indonesia Cabang Serambi Mekah. Penangkapan itu mengejutkan karena mereka mampu menembus blokade Brimob dan Densus 88. Kelompok ini diduga sangat mengenal pegunungan, yang semasa konflik menjadi medan gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, ketika turun gunung, ternyata mereka terkesan amatiran. Mereka melalui rute jalan raya secara bergerombol dan menyimpan senjata di dalam karung goni.

”Mengherankan, kenapa mereka yang katanya sudah mendapat banyak latihan di luar negeri itu ceroboh sekali,” kata mantan Panglima Pasukan Khusus GAM ”Gajah Keng” wilayah Aceh Besar, Tajudin.

Menurut dia, pada masa perang gerilya dulu, tak mungkin pasukan GAM pergi bergerombol seperti itu dengan satu mobil, tanpa ada pengintai yang survei di depan, biasanya dengan sepeda motor, untuk menginformasikan keamanan di jalan. ”Apalagi senjata mereka dimasukkan dalam goni,” katanya.

Jika berniat lari dari kejaran aparat, menurut Tajudin, mestinya mereka meninggalkan senjata dan menyamar. ”Sebelum turun ke kota, kami biasa potong rambut. Kalau ke salon, pakai sepatu kets atau celana jins. Itu yang membuat kami bebas ke kota, bahkan bisa ke Jakarta,” kata Abu, mantan salah satu panglima operasi GAM.

Belum mengakar

Keterangan Tajudin dan Abu itu menegaskan, kelompok teroris yang tengah diburu tersebut belum menguasai medan saat turun gunung, terutama belum memahami karakter masyarakat Aceh. Jelas mereka belum mengakar di masyarakat. Namun, jika sudah membangun koalisi pragmatis dengan beberapa kelompok kecewa di Aceh, mereka bisa jadi akan sangat berbahaya.

Tertangkapnya peserta pelatihan militer di Jantho, Aceh Besar, itu juga tak terlepas dari peran penduduk yang memberikan informasi kepada kepolisian setempat. Hal itu diakui, baik oleh polisi lokal di Aceh maupun tim Densus 88. Pengepungan pertama pada 22 Februari 2010 oleh polisi dari Polres Aceh Besar juga berawal dari informasi penduduk, salah satunya pencari rotan di perbukitan Krueng Linteung, Jalin, Jantho. Informasi keberadaan orang-orang mencurigakan di Jalin itu sudah sampai di polisi Aceh pada 6, 18, dan 21 Februari 2010.

Berdasarkan wawancara dengan Yudi Zulhari, salah satu tersangka yang ditangkap polisi pada 22 Februari 2010, pemilihan lokasi di Jantho atas persetujuan Maulana (buron). Maulana pernah ikut pelatihan militer di Mindanao, Filipina, dan pernah ditahan di Malaysia. Maulana juga pernah terlibat upaya pembunuhan mantan Ketua MPR Matori Abdul Jalil (Maret 2000). ”Maulana setuju lokasi di Jantho. Abu Rimba hanya membantu menunjukkan jalan,” kata Yudi.

Yudi dan Sofyan Tsauri (tersangka teroris yang juga desersi anggota Polres Depok) yang berperan merekrut anggota sel lokal mengungkapkan, keterlibatan warga Aceh masih belum mengakar. Dia baru merintis untuk membangun sel di Aceh sejak 2009 melalui sebuah kelompok pengajian.

Hal ini sejalan dengan analisis sementara pihak kepolisian yang menyebutkan, keterlibatan sebagian orang Aceh dalam jejaring terorisme asal Jawa (Ring Banten) belum sampai pada tahap ideologis. Salah satu indikasinya, tiga peserta pelatihan militer yang memutuskan menyerahkan diri adalah warga lokal Aceh, yakni Abu Rimba, Mukhsin, dan Mukhtar. Meski begitu, pihak kepolisian di Aceh tetap memantau dinamika penyebaran pemahaman radikal.

Dari kelompok poros Aceh-Jawa itu, ”tokoh-tokoh” penting yang berperan merupakan mantan narapidana terorisme yang berkiprah di Jawa, buronan lama di Jawa. Bahkan, polisi mengindikasi keterlibatan narapidana yang masih di penjara. Boleh dikatakan, selain Yudi, peran warga lokal Aceh lebih semacam figuran dalam pusaran kelompok teroris poros Aceh-Jawa.